ESTIMASI SEDERHANA AREA TERBANJIRI JIKA SUATU WADUK JEBOL*

Artikel kali ini terinspirasi dari tugas pertama saya ketika saya masuk di dunia kerja reguler. Pada hari pertama masuk kerja, saya disuguhi atmosfir brainstorming untuk memecahkan secara cepat bagaimana memodelkan zona-zona yang rawan terbanjiri jika suatu waduk jebol. Kebetulan saya bergabung pada suatu badan pemerintah yang konsentrasinya pada kebencanaan.
Saya pun mengambil suatu awalan pemodelan. Pemodelan yang akan saya lakukan adalah bertumpu pada banyaknya (volume) air waduk tersebut. Saya belum sampai pemodelan untuk visualisasi gaya-gaya yang bekerja atas potensi energi dari volume tadi. Namun, saya mengasumsikan bahwa kejadian waduk jebol sebenarnya membuka fenomena berupa “migrasi” air ke tempat lain. Pertanyaan utamanya tentu dimanakah air tersebut akan menetap.
Estimasi sederhana yang terpikirkan dalam waktu yang singkat dan mirip jeda pengerjaan ujian semester ini pun menghasilkan logika hidrolika yang relatif nalar. Pemodelan tersebut terdiri dari 2 inti analisis meskipun kemudian berkembang.
Analisis pertama adalah membuat batasan cakupan sistem hidrolika yang melingkupi waduk tersebut. Proses ini sering juga disebut delineasi batas DAS (Daerah Aliran Sungai). Asumsi yang dipegang teguh pada proses yang pertama ini adalah suatu siklus hidrologi akan efektif bekerja atau berotasi pada Baca pos ini lebih lanjut

MEMETAKAN KEDALAMAN DANAU?*

Tanpa sengaja saya membaca ulasan query pada mapserver di salah satu situs. Contoh yang diceritakan adalah mencari dimana saja keberadaan danau yang kedalamannya lebih dari 30 meter. Saya pun teringat beberapa bulan yang lalu ditanya seorang teman dari jurusan lain di fakultas saya. Pertanyaannya: “Bos, kalau aku mau memetakan kedalaman danau maka harusnya aku pakai citra satelit apa ya?”. Saya pun berusaha memahami maksud pertanyaannya. Dan ternyata pertanyaan tadi serius. Dia baru saja menandatangani kontrak untuk memetakan kedalaman danau-danau yang ada di salah satu daerah di Pulau Jawa ini. Oleh sang pemberi pekerjaan, dia hanya dibekali bahan berupa satu kalimat pada dokumen berformat .doc yang menceritakan panjang sungai yang ada di daerah itu. Tak ada keterangan lain. Sungguh proyek gila pikir saya waktu itu.
Kedalaman merupakan representasi data pada arah sumbu z. Data-data seperti citra satelit yang masih asli (tunggal) tidak mampu menurunkan informasi kedalaman ataupun ketinggian. Ilustrasinya persis ketika kita melihat foto keluarga maka kita tak akan pernah dapat menghitung ukuran lingkar perut orang-orang yang tergambar pada foto tadi. Bahkan mengukur dimensi hidung untuk orang yang difoto tegak lurus dengan sumbu kamera -seperti foto closeup- saja tak bisa. Baca pos ini lebih lanjut

MEMBANDINGKAN DUA DATA*

Seorang klien yang sedang menyelesaikan tesis magister teknik sipil bertanya kepada saya:
“Dapatkah Peta RBI (Rupa Bumi Indonesia) dan Citra Daichi dibandingkan kenampakan permukimannya?”
Saya pun menjawab “dapat”.
Kegiatan “membandingkan” bagi saya bukan hal yang haram selama landasan pikirannya tepat. Pada kasus yang ditanyakan klien saya, saya melihat ada 2 bagan yang dapat diturunkan dari pertanyaan tersebut. Pembandingan dapat mencakup 2 tujuan.
Tujuan pertama upaya pembandingan adalah untuk meneliti seberapa “akur” dua data atau lebih yang dibandingkan. Pembandingan ini pada konteks geospasial tentunya diarahkan pada perincian akurasi banyak aspek yang dicari melalui penelitian. Dasar keingintahuan seperti itu membuat sifat penelitian adalah eksperimental. Oleh karenanya tak tertutup kemungkinan data yang dibandingkannya pun berbeda tegas pada banyak hal. Pembandingan Peta RBI dan Citra Daichi pada tujuan pertama ini tentunya akan menghasilkan penjelasan mana di antara 2 data tersebut yang paling akurat untuk pemetaan bangunan (misalnya), seberapa akurasi spasial masing-masing, dan sebagainya. Baca pos ini lebih lanjut